Deregulasi Perbankan
Indonesia
Dalam sejarah perbankan Indonesia,
pemerintah telah melakukan kebijakan deregulasi dan debirokratisasi yang
dijalankan secara bertahap. Salah satu maksud dari kebijakan deregulasi dan
debirokratisasi adalah upaya untuk membangun suatu sistem perbankan yang sehat,
efisien, dan tangguh. Perekonomian Indonesia pada saat itu masih mengalami
pasang surut. Kesan bongkar pasang pun tak terelakkan. Ini membuktikan bahwa
aturan-aturan perbankan Indonesia memang tak didasari pengalaman negara-negara
lain yang sudah lebih lama mengatur soal-soal bank.
Perbankan
mengalami kondisi stagnan dan hilangnya inisiatif akibat dari over-regulated
terhadap perbankan. Hal tersebut mendorong BI melakukan deregulasi perbankan
untuk memodernisasi perbankan sesuai dengan tuntutan masyarakat, dunia usaha,
dan kehidupan ekonomi pada periode tersebut.
Pada 1 Juni 1983,
tahap awal deregulasi perbankan dimulai dengan penghapusan pagu kredit, bank
bebas menetapkan suku bunga kredit, tabungan, dan deposito, serta menghentikan
pemberian Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) kepada semua bank kecuali
untuk jenis kredit tertentu yang berkaitan dengan pengembangan koperasi dan
ekspor. Deregulasi ini juga yang pertama memperkenalkan Sertifikat Bank
Indonesia (SBI) dan Surat Berharga Pasar Uang (SPBU). Aturan ini dimaksudkan
untuk merangsang minat berusaha di bidang perbankan Indonesia di masa
mendatang.
Tahap awal deregulasi tersebut
berhasil menumbuhkan iklim persaingan antar bank. Banyak bank, terutama bank
swasta, mulai bangkit untuk mengambil inisiatif dalam menentukan arah
perkembangan usahanya. Seiring dengan itu, BI memperkuat system pengawasan bank
yang di antaranya melalui penyusunan dan pemeliharaan blacklist yang diberi
nama resmi Daftar Orang-Orang yang Melakukan Perbuatan Tercela (DOT) di bidang
perbankan. Mereka yang masuk dalam daftar ini tidak boleh lagi berkecimpung
dalam dunia perbankan.
Lima
tahun kemudian ada Paket Kebijakan 27 Oktober 1988 (Pakto 88) yang terkenal itu. Pakto 88
boleh dibilang adalah aturan paling liberal sepanjang sejarah Republik
Indonesia di bidang perbankan. Contohnya, hanya dengan modal Rp 10 milyar maka
seorang pengusaha bisa membuka bank baru. Dan kepada bank-bank asing lama dan
yang baru masuk pun diijinkan membuka cabangnya di enam kota. Bahkan
bentuk patungan antar bank asing dengan bank swasta nasional diijinkan. Dengan
demikian, secara terang-terangan monopoli dana BUMN oleh bank-bank milik negara
dihapuskan.
Bahkan,
beberapa bank kemudian menjadi bank devisa karena persyaratan untuk mendapat
predikat itu dilonggarkan. Dengan berbagai kemudahan Pakto 88, jumlah bank
komersial naik 50 persen dari 111 bank pada Maret 1989 menjadi 176 bank pada
Maret 1991. Banyaknya jumlah bank membuat kompetisi pencarian tenaga kerja,
mobilisasi dana deposito dan tabungan juga semakin kompetitif. Perusahaan yang
diberikan kredit pun memiliki kesempatan untuk berkembang secara agresif.
Pertumbuhan agresif perusahaan perusahaan di Indonesia menyebabkan tingginya
pertumbuhan ekonomi Indonesia setelah tahun 1988.
Penyebabnya, walaupun uang yang
beredar di masyarakat tinggi, namun sebagian besar digunakan untuk perusahaan.
Dapat dilihat dari tingkat inflasi pada tahun-tahun tersebut yang relative
lebih terkendali dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Hal tersebut menandakan bahwa
perusahaanlah yang memutar roda perekonomian.
Pertimbangan pemerintah adalah tahun 1988 dijadikan tahun untuk ekspansi dan tahun 1991 – 1994 untuk menguatkan perbankan Indonesia. Namun kebijakan yang terlalu bebas tersebut menyebabkan banyak pihak yang dirugikan karena tidak profesionalnya bank terutama dalam memberikan pinjaman kredit.
Pertimbangan pemerintah adalah tahun 1988 dijadikan tahun untuk ekspansi dan tahun 1991 – 1994 untuk menguatkan perbankan Indonesia. Namun kebijakan yang terlalu bebas tersebut menyebabkan banyak pihak yang dirugikan karena tidak profesionalnya bank terutama dalam memberikan pinjaman kredit.
Banyaknya
jumlah bank membuat kompetisi pencarian tenaga kerja, mobilisasi dana deposito
dan tabungan jugase makin sengit. Ujung-ujungnya, karena bank terus dipacu
untuk mencari untung, sisi keamanan penyaluran dana terabaikan, dan akhirnya
kredit macet menggunung. Kondisi ini kemudian memunculkanPaket Februari 1991 (Paktri)
yang mendorong dimulainya proses globalisasi perbankan.
Salah satu tugasnya adalah berupaya
mengatur pembatasan dan pemberatan persyaratan perbankan dengan mengharuskan
dipenuhinya persyaratan permodalan minimal 8 persen dari kekayaan. Yang
diharapkan dalam paket itu adalah akan adanya peningkatan kualitas perbankan
Indonesia. Dengan mewajibkan bank-bank memenuhi aturan penilaian kesehatan bank
yang mempergunakan formula kriteria tertentu, tampaknya paket itu tidak bisa
menghindari kesan sebagai produk aturan yang diwarnai trauma atas terjadinya
kasus kolapsnya Bank Perbankan Asia, Bank Duta, dan Bank Umum Majapahit.
Setelah itu,
lahir UU Perbankan baru bernomor 7
tahun 1992 yang
disahkan oleh Presiden Soeharto pada 25 Maret 1992. Undang Undang itu merupakan
penyempurnaan UU Nomor 14 tahun 1967. Intinya, UU itu menggarisbawahi soal
peniadaan pemisahan perbankan berdasarkan kepemilikan. Kalau UU yang lama
secara tegas menjelaskan soal pemilikan bank/pemerintah, pemerintah daerah,
swasta nasional, dan asing. Mengenai perizinan, pada UU lama persyaratan
mendirikan bank baru ditekankan pada permodalan dan pemilikan. Pada UU yang
baru, persyaratannya meliputi berbagai unsur seperti susunan organisasi,
permodalan, kepemilikan, keahlian di bidang perbankan, kelayakan kerja, dan
hal-hal lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan berdasarkan pertimbangan
Bank Indonesia.
Kemudian
pemerintah mengeluarkan Paket
29 Mei 1993 (Pakmei).
Hal tersebut untuk mengurangi sebagian kendala yang dihadapi perbankan dalam
melakukan ekspansi kredit dan koreksi terhadap Paktri yang begitu mengekang
bank. Dengan Pakmei itu, pemerintah berharap mengucurkan kredit, sehingga dunia
usaha tidak lesu lagi dan industri otomotif bisa bergairah kembali. Disebutkan
dalam Pakmei ini pencapaian CAR (capital adiquacy ratio)– atau perimbangan antara modal
sendiri dan aset — sesuai dengan ketentuan adalah 8 persen. Kemudian
penyempurnaan lain pada paket itu adalah ketentuan loan to deposit ratio (LDR).
Aturan yang
terakhir diluncurkan adalah Peraturan
Pemerintah (PP) No. 68 tahun 1996 yang ditanda tangani Presiden RI pada
3 Desember 1996. Belajar dari pengalaman Bank Summa, PP ini sangat
menguntungkan para nasabah karena nasabah bank akan tahu persis rapor banknya.
Dengan begitu, mereka bisa ancang-ancang jika suatu saat banknya sedang goyah
atau bahkan nyaris pailit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar