Kamis, 03 April 2014

Deregulasi Perbankan Indonesia

Deregulasi Perbankan Indonesia
Dalam sejarah perbankan Indonesia, pemerintah telah melakukan kebijakan deregulasi dan debirokratisasi yang dijalankan secara bertahap. Salah satu maksud dari kebijakan deregulasi dan debirokratisasi adalah upaya untuk membangun suatu sistem perbankan yang sehat, efisien, dan tangguh. Perekonomian Indonesia pada saat itu masih mengalami pasang surut. Kesan bongkar pasang pun tak terelakkan. Ini membuktikan bahwa aturan-aturan perbankan Indonesia memang tak didasari pengalaman negara-negara lain yang sudah lebih lama mengatur soal-soal bank.
Perbankan mengalami kondisi stagnan dan hilangnya inisiatif akibat dari over-regulated terhadap perbankan. Hal tersebut mendorong BI melakukan deregulasi perbankan untuk memodernisasi perbankan sesuai dengan tuntutan masyarakat, dunia usaha, dan kehidupan ekonomi pada periode tersebut.
Pada 1 Juni 1983, tahap awal deregulasi perbankan dimulai dengan penghapusan pagu kredit, bank bebas menetapkan suku bunga kredit, tabungan, dan deposito, serta menghentikan pemberian Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) kepada semua bank kecuali untuk jenis kredit tertentu yang berkaitan dengan pengembangan koperasi dan ekspor. Deregulasi ini juga yang pertama memperkenalkan Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan Surat Berharga Pasar Uang (SPBU). Aturan ini dimaksudkan untuk merangsang minat berusaha di bidang perbankan Indonesia di masa mendatang.
Tahap awal deregulasi tersebut berhasil menumbuhkan iklim persaingan antar bank. Banyak bank, terutama bank swasta, mulai bangkit untuk mengambil inisiatif dalam menentukan arah perkembangan usahanya. Seiring dengan itu, BI memperkuat system pengawasan bank yang di antaranya melalui penyusunan dan pemeliharaan blacklist yang diberi nama resmi Daftar Orang-Orang yang Melakukan Perbuatan Tercela (DOT) di bidang perbankan. Mereka yang masuk dalam daftar ini tidak boleh lagi berkecimpung dalam dunia perbankan.
Lima tahun kemudian ada Paket Kebijakan 27 Oktober 1988 (Pakto 88) yang terkenal itu. Pakto 88 boleh dibilang adalah aturan paling liberal sepanjang sejarah Republik Indonesia di bidang perbankan. Contohnya, hanya dengan modal Rp 10 milyar maka seorang pengusaha bisa membuka bank baru. Dan kepada bank-bank asing lama dan yang baru masuk pun diijinkan membuka cabangnya di enam kota.  Bahkan bentuk patungan antar bank asing dengan bank swasta nasional diijinkan. Dengan demikian, secara terang-terangan monopoli dana BUMN oleh bank-bank milik negara dihapuskan.
Bahkan, beberapa bank kemudian menjadi bank devisa karena persyaratan untuk mendapat predikat itu dilonggarkan. Dengan berbagai kemudahan Pakto 88, jumlah bank komersial naik 50 persen dari 111 bank pada Maret 1989 menjadi 176 bank pada Maret 1991. Banyaknya jumlah bank membuat kompetisi pencarian tenaga kerja, mobilisasi dana deposito dan tabungan juga semakin kompetitif. Perusahaan yang diberikan kredit pun memiliki kesempatan untuk berkembang secara agresif. Pertumbuhan agresif perusahaan perusahaan di Indonesia menyebabkan tingginya pertumbuhan ekonomi Indonesia setelah tahun 1988.


Penyebabnya, walaupun uang yang beredar di masyarakat tinggi, namun sebagian besar digunakan untuk perusahaan. Dapat dilihat dari tingkat inflasi pada tahun-tahun tersebut yang relative lebih terkendali dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Hal tersebut menandakan bahwa perusahaanlah yang memutar roda perekonomian.
Pertimbangan pemerintah adalah tahun 1988 dijadikan tahun untuk ekspansi dan tahun 1991 – 1994 untuk menguatkan perbankan Indonesia. Namun kebijakan yang terlalu bebas tersebut menyebabkan banyak pihak yang dirugikan karena tidak profesionalnya bank terutama dalam memberikan pinjaman kredit.
Banyaknya jumlah bank membuat kompetisi pencarian tenaga kerja, mobilisasi dana deposito dan tabungan jugase makin sengit. Ujung-ujungnya, karena bank terus dipacu untuk mencari untung, sisi keamanan penyaluran dana terabaikan, dan akhirnya kredit macet menggunung. Kondisi ini kemudian memunculkanPaket Februari 1991 (Paktri) yang mendorong dimulainya proses globalisasi perbankan.
Salah satu tugasnya adalah berupaya mengatur pembatasan dan pemberatan persyaratan perbankan dengan mengharuskan dipenuhinya persyaratan permodalan minimal 8 persen dari kekayaan. Yang diharapkan dalam paket itu adalah akan adanya peningkatan kualitas perbankan Indonesia. Dengan mewajibkan bank-bank memenuhi aturan penilaian kesehatan bank yang mempergunakan formula kriteria tertentu, tampaknya paket itu tidak bisa menghindari kesan sebagai produk aturan yang diwarnai trauma atas terjadinya kasus kolapsnya Bank Perbankan Asia, Bank Duta, dan Bank Umum Majapahit.
Setelah itu, lahir UU Perbankan baru bernomor 7 tahun 1992 yang disahkan oleh Presiden Soeharto pada 25 Maret 1992. Undang Undang itu merupakan penyempurnaan UU Nomor 14 tahun 1967. Intinya, UU itu menggarisbawahi soal peniadaan pemisahan perbankan berdasarkan kepemilikan. Kalau UU yang lama secara tegas menjelaskan soal pemilikan bank/pemerintah, pemerintah daerah, swasta nasional, dan asing. Mengenai perizinan, pada UU lama persyaratan mendirikan bank baru ditekankan pada permodalan dan pemilikan. Pada UU yang baru, persyaratannya meliputi berbagai unsur seperti susunan organisasi, permodalan, kepemilikan, keahlian di bidang perbankan, kelayakan kerja, dan hal-hal lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan berdasarkan pertimbangan Bank Indonesia.
Kemudian pemerintah mengeluarkan Paket 29 Mei 1993 (Pakmei). Hal tersebut untuk mengurangi sebagian kendala yang dihadapi perbankan dalam melakukan ekspansi kredit dan koreksi terhadap Paktri yang begitu mengekang bank. Dengan Pakmei itu, pemerintah berharap mengucurkan kredit, sehingga dunia usaha tidak lesu lagi dan industri otomotif bisa bergairah kembali. Disebutkan dalam Pakmei ini pencapaian CAR (capital adiquacy ratio)– atau perimbangan antara modal sendiri dan aset — sesuai dengan ketentuan adalah 8 persen. Kemudian penyempurnaan lain pada paket itu adalah ketentuan loan to deposit ratio (LDR).
Aturan yang terakhir diluncurkan adalah Peraturan Pemerintah (PP) No. 68 tahun 1996 yang ditanda tangani Presiden RI pada 3 Desember 1996. Belajar dari pengalaman Bank Summa, PP ini sangat menguntungkan para nasabah karena nasabah bank akan tahu persis rapor banknya. Dengan begitu, mereka bisa ancang-ancang jika suatu saat banknya sedang goyah atau bahkan nyaris pailit.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar